Cinta Adalah Cahaya
Cinta adalah Cahaya
My bounty is as boundless as the sea.
My love as deep,
the more I give to thee,
the more I have,
for both are infinite.
—William Shakespeare, Romeo and Juliet
Kau pernah mendengar kisah klasik ‘Romeo and Juliet’ karya William Shakepears? Kisah—yang katanya—tentang cinta sejati yang dibawa sampai mati. Bagi mereka, cinta sejati adalah hidup bahagia berdua di tengah waarna-warni taman bunga atau mati saja. ‘Jika keindahan cinta tak bisa kita jangkau, maka kita buat saja segalanya jadi tak terjangkau’, begitu barangkali pikir Romeo dan Juliet.
Atau kau pernah mendengar legenda ‘Laila Majnun’? Cerita tentang ketakberdayaan sang Qais dalam menggapai perempuan yang siang-malam begitu ia dambakan. Bagi Qais cinta adalah memiliki, maka badai kesedihan melanda ketika sang pujaan hati tak kunjung datang ke dalam pelukannya. Pada akhir kisahnya, Qais sang Majnun mati dalam kesedihan di atas makam Sang Layla.
Tidakkah hatimu tergerak untuk menyimpulkan bahwa berdasar kisah-kisah tersebut, cinta seperti tak punya jarak dengan kebodohan? Apakah memang begitu?
Adalah ‘The Sorrows of Young Werther’, novel karya Johann Wolfgang von Goethe (1749-1832) pada tahun 1774 yang juga mengisahkan hal yang serupa dengan dua kisah sebelumnya. Cerita tentang cinta yang tak sampai. Akhir dari novel ini adalah Si Pemuda Werther yang menembak dirinya sendiri karena hasratnya untuk memiliki wanita yang ia cintai tak terujud. Hebatnya, angka bunuh diri meningkat setelah buku ini terbit. Buku ini pun untuk sementara dilarang di Denmark dan Norwegia. Sebegitu dahsyat kah cinta?
‘Cinta’, kata Theodor Reik, ‘adalah salahsatu kata di dalam kumpulan kosakata kita yang bekerja melampaui batas. Kata itu bekerja mati-matian hampir di semua bidang aktivitas manusia.’
‘Kata “cinta” ’, lanjut Reik, ‘tidak sebatas mengekspresikan perasaan di antara jenis kelamin, tapi juga mengekspresikan emosi di antara anggota-anggota keluarga. Kata “cinta” menandakan perasaan kepada tetangga, teman atau bahkan musuh Anda, kepada semua umat manusia, rumah, kelompok sosial atau rasial, bangsa, kepada segala sesuatu yang baik dan indah, juga kepada Tuhan. Kata “cinta” begitu hebat, dan karena itu dia setara dengan tugas-tugasnya yang sedemikian banyak itu.’
Sementara Freud dan para pengikutnya berpandangan bahwa cinta adalah dorongan seksual yang tertahan, Reik secara tegas menyatakan: cinta berbeda dengan seks. Ia mengibaratkan cinta dan seks seperti wiski dan soda. Mereka kerap ditemui bersama, namun eksis sebagai entitasnya masing-masing. Artinya, Wiski adalah sesuatu yang berbeda dengan soda dan wiski tidak menjadi soda ketika dicampur dengan soda, juga sebaliknya. Masing-masing memiliki eksistensi yang mandiri.
Kita layak bersyukur karena kemudian hadir psikolog-psikolog yang membantah anggapan Freud tersebut. Sebab anggapan itu tak pernah bisa menjelaskan cinta orangtua pada anaknya. Sebagaimana yang begitu kuat menggelora di dalam dada ayahmu. Padamu, tentu saja—memangnya siapa lagi
Komentar