Harusnya tak Begini
Ada yang kurang. Seperti ada potongan cerita yang hilang. Atau terhapus. Kondisi sekitar menyiratkan, harusnya tidak berakhir begini. Tapi inilah yang terjadi, memang harus ada yang terluka. Dan biarlah itu aku sendiri.
Tubuhku sama sekali tidak gemetar. Tidak juga ada titik air dari mata, sekedar kaca-kaca pun tidak. Mereka bilang sakit hati lebih menyedihkan dari pada sakit gigi. Tapi aku tidak tahu benar, sedang patah hatikah aku. Hanya ada perasaan iri pada benda-benda mati yang bisa selalu berada di sampingnya. Juga pada hewan-hewan kecil yang mungkin luput dari pandangannya. Tapi mereka bisa dekat, bisa menyapa, bisa menatap. Dan bagiku itu sudah cukup.
Persetan dengan semua bintang jatuh yang pernah menjadi saksi angan-anganku. Mereka pengkhianat. Juga deru ombak yang biasa jadi teman teriakku, mereka pembelot. Firasatku juga telah salah. Apa lagi yang bisa aku percaya? Saat semua hanya mencipta titik-titik luka, membentuk goresan panjang membujur di sepanjang hati, menyipratinya dengan air laut.
Dulu, bahkan ketika aku tidak percaya pada diriku, aku masih bisa percaya pada rindu. Karena kuyakin rindu pasti jujur. Sekarang, rindu, dia bukan lagi temanku. Teman yang biasa hadir dengan bunga-bunga, teman yang biasa hadir dengan harapan, teman yang bisa meyakinkan saat ragu.
Ini bukan tentang rindu yang ‘tak lagi bisa mengelus rindu. Bukan juga tentang hati yang ‘tak dapat tempat. Ini tentang gelora yang memudar. Tentang semangat hidup yang ia buat redup. Atau jangan-jangan ia adalah aku. Mudah-mudahan begitu. Agar rindu, bisa membelai dirinya sendiri.
Komentar